Showing posts with label Konseling. Show all posts
Showing posts with label Konseling. Show all posts

Tuesday 9 February 2010

Rasa Bosan Mempercepat Kematian

Mungkin terlalu berlebihan jika dibilang bahwa perasaan bosan mempercepat kematian. Tapi hal itu memang benar-benar terjadi dan peneliti sudah membuktikannya. Menurut peneliti, seseorang yang dilanda rasa bosan akan lebih cepat mengalami kematian dini akibat penyakit jantung dan stroke.

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh peneliti dari University College London, orang yang sering mengeluh bosan memiliki risiko meninggal dunia akibat penyakit jantung dan stroke dua kali lebih besar dibanding orang yang jarang merasa bosan.

Lebih dari 7.000 partisipan berusia 35 hingga 55 tahun diikutsertakan dalam studi ini. Para partisipan tersebut dimonitor kehidupannya selama 25 tahun.

Hasilnya menunjukkan partisipan yang sering merasa bosan selama hidupnya, diketahui 40 persen lebih banyak yang meninggal dunia pada akhir studi. Sementara itu, partisipan yang jarang merasa bosan atau bisa mengatasi rasa bosannya dengan baik masih bisa bertahan hingga studi berakhir.

Hasil survei yang dipublikasikan dalam the International Journal of Epidemiolog ini juga menunjukkan bahwa wanita dua kali lebih cepat merasa bosan ketimbang pria. Pegawai yang masih muda dan pekerja bawahan pun dikategorikan sebagai golongan yang paling rentan mengalami kebosanan.

Berawal dari rasa bosan kerja, sekolah atau beraktivitas, lama kelamaan bisa menjadi bosan hidup. Kebanyakan orang yang merasa bosan menghabiskan waktunya dengan melakukan kebiasaan tidak sehat seperti minum alkohol, merokok dan lainnya. Menurut peneliti, semua kebiasaan buruk itu membuat umur hidupnya menjadi lebih pendek.

"Penemuan ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara rasa bosan dengan penyakit jantung atau stroke. Saat merasa benar-benar bosan, sebaiknya seseorang mencari sesuatu yang lebih menarik dan menyenangkan daripada beralih pada kebiasaan buruk seperti merokok atau minum-minum," kata psikolog Graham Price seperti dikutip dari Telegraph, Selasa (9/2/2010).

Sebuah tips diberikan Price untuk mengatasi rasa bosan. "Jika sedang bosan, cobalah pikirkan sesuatu yang bisa Anda lakukan untuk orang lain. Rasa bosan biasanya muncul jika otak selalu berpikir tentang saya, saya dan saya. Cobalah berpikir apa yang bisa saya lakukan untuk keluarga, teman, rekan atau orang lain," ujarnya.(fah/ver-detik)

Rasa Bosan Mempercepat Kematian

Mungkin terlalu berlebihan jika dibilang bahwa perasaan bosan mempercepat kematian. Tapi hal itu memang benar-benar terjadi dan peneliti sudah membuktikannya. Menurut peneliti, seseorang yang dilanda rasa bosan akan lebih cepat mengalami kematian dini akibat penyakit jantung dan stroke.

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh peneliti dari University College London, orang yang sering mengeluh bosan memiliki risiko meninggal dunia akibat penyakit jantung dan stroke dua kali lebih besar dibanding orang yang jarang merasa bosan.

Lebih dari 7.000 partisipan berusia 35 hingga 55 tahun diikutsertakan dalam studi ini. Para partisipan tersebut dimonitor kehidupannya selama 25 tahun.

Hasilnya menunjukkan partisipan yang sering merasa bosan selama hidupnya, diketahui 40 persen lebih banyak yang meninggal dunia pada akhir studi. Sementara itu, partisipan yang jarang merasa bosan atau bisa mengatasi rasa bosannya dengan baik masih bisa bertahan hingga studi berakhir.

Hasil survei yang dipublikasikan dalam the International Journal of Epidemiolog ini juga menunjukkan bahwa wanita dua kali lebih cepat merasa bosan ketimbang pria. Pegawai yang masih muda dan pekerja bawahan pun dikategorikan sebagai golongan yang paling rentan mengalami kebosanan.

Berawal dari rasa bosan kerja, sekolah atau beraktivitas, lama kelamaan bisa menjadi bosan hidup. Kebanyakan orang yang merasa bosan menghabiskan waktunya dengan melakukan kebiasaan tidak sehat seperti minum alkohol, merokok dan lainnya. Menurut peneliti, semua kebiasaan buruk itu membuat umur hidupnya menjadi lebih pendek.

"Penemuan ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara rasa bosan dengan penyakit jantung atau stroke. Saat merasa benar-benar bosan, sebaiknya seseorang mencari sesuatu yang lebih menarik dan menyenangkan daripada beralih pada kebiasaan buruk seperti merokok atau minum-minum," kata psikolog Graham Price seperti dikutip dari Telegraph, Selasa (9/2/2010).

Sebuah tips diberikan Price untuk mengatasi rasa bosan. "Jika sedang bosan, cobalah pikirkan sesuatu yang bisa Anda lakukan untuk orang lain. Rasa bosan biasanya muncul jika otak selalu berpikir tentang saya, saya dan saya. Cobalah berpikir apa yang bisa saya lakukan untuk keluarga, teman, rekan atau orang lain," ujarnya.(fah/ver-detik)

Monday 1 February 2010

Perilaku Anak Tanpa Ayah

Memiliki orangtua lengkap adalah idaman semua anak. Tapi kadang kenyataan yang dijalani tak seperti itu. Lebih banyak anak yang hidup hanya dengan ibunya selama bertahun-tahun. Berbedakah perilaku anak yang hidup tanpa ayah?

Kehidupan anak tanpa ayah ini karena alasan bermacam-macam, seperti kepala keluarga yang berpulang lebih dulu, gugur dalam tugas atau yang menjadi tren saat ini karena perceraian.

Yang lebih banyak disoroti adalah perilaku anak tanpa ayah karena perceraian. Banyak anak yang merasa sedih, frustasi, marah dan takut dalam menghadapi situasi ini.

Seperti dikutip dari parentsworld, sosok ayah bagi anak mewakili lebih dari sekadar pencari nafkah, tapi juga sebagai penyelamat, pelindung, pembimbing dan persahabatan. Sehingga banyak anak yang orangtuanya bercerai melampiaskan emosinya pada perilakunya. Tapi memiliki ayah juga bukan jaminan anak akan patuh.

Saking tingginya tingkat perceraian di Amerika, mulai banyak pertanyaan masih pentingkah peran ayah. Karena lebih banyak yang percaya anak bisa hidup tanpa ayahnya karena ibu telah terbukti menjadi orangtua tunggal (single parent) yang teruji.

Psikolog Ike R. Sugianto, Psi dari Klinik Medikids Greenville, saat dihubungi detikHealth, Minggu (31/1/2010) mengatakan jika anak hanya tinggal bersama ibu maka perilakunya tergantung dari pola asuh sang ibu.

Menurutnya karakter seorang anak tidak bisa ditentukan oleh salah satu faktor saja, karena itu anak yang diasuh oleh orangtua tunggal belum tentu memiliki perilaku yang salah atau menyimpang.

"Sebenanya tidak ada perilaku khas yang membedakan antara anak yang masih memiliki orangtua lengkap atau anak yang hanya memiliki ibu saja. Karena karakter seorang anak tidak bisa dikaitkan dengan satu variabel saja," ujar Ike.

Ike menuturkan hal yang paling mempengaruhi perilaku dari anak adalah bagaimana pola asuh dari ibunya. Jika si ibu terus menekan atau menuntut agar anak bisa melakukan segala hal sehingga tak perlu tergantung pada laki-laki, maka kemungkinan besar anak akan tumbuh menjadi sosok mandiri.

Namun jika ibu terlalu protektif terhadap anaknya, maka ada kemungkinan anak akan tumbuh menjadi sosok yang manja.

"Pola asuh orangtua sangat berperan dalam hal ini. Karena meskipun si anak masih memiliki orangtua yang lengkap tapi si ayah tidak berperan dalam perkembangannya, bisa saja anak memiliki perilaku yang menyimpang," ujar psikolog yang lulus dari UI tahun 1997 ini.

Ike memberikan beberapa tips pola asuh bagi orangtua tunggal, yaitu:

1. Cobalah untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Terlepas dari apakah menjadi orangtua tunggal akibat cerai hidup atau meninggal, tapi syukuri segala kondisi yang ada. Bagaimana ibu bisa menolong anaknya kalau ia tidak bisa menolong dirinya sendiri.

2. Memberikan pola asuh yang seimbang antara faktor disiplin dan kasih sayang, sehingga anak nantinya tidak tumbuh menjadi sosok yang emosional, manja atau terlalu sensitif.

3. Anak tetap harus punya figur atau panutan laki-laki dewasa, seperti dari paman, kakek atau gurunya. Hal ini dibutuhkan agar saat anak tumbuh dewasa nanti, anak menjadi tahu bagaimana perilaku dan peran dari seorang laki-laki.

4. Ibu harus tetap mengizinkan anak untuk berkomunikasi dengan ayahnya, jika single parent diakibatkan oleh perceraian. Jika anak belum bisa menerima semuanya, coba bantu anak dengan memberikan beberapa pengertian dan tunggu kesiapan dari anak tersebut.

Diakui Ike sangat berat bagi ibu yang mengasuh anak sendirian maka itu penting menjaga komunikasi terhadap anak sehingga keduabelah pihak tahu apa yang diinginkan agar bisa menjalani hidup dengan normal.
(ver/ir-detik)

Perilaku Anak Tanpa Ayah

Memiliki orangtua lengkap adalah idaman semua anak. Tapi kadang kenyataan yang dijalani tak seperti itu. Lebih banyak anak yang hidup hanya dengan ibunya selama bertahun-tahun. Berbedakah perilaku anak yang hidup tanpa ayah?

Kehidupan anak tanpa ayah ini karena alasan bermacam-macam, seperti kepala keluarga yang berpulang lebih dulu, gugur dalam tugas atau yang menjadi tren saat ini karena perceraian.

Yang lebih banyak disoroti adalah perilaku anak tanpa ayah karena perceraian. Banyak anak yang merasa sedih, frustasi, marah dan takut dalam menghadapi situasi ini.

Seperti dikutip dari parentsworld, sosok ayah bagi anak mewakili lebih dari sekadar pencari nafkah, tapi juga sebagai penyelamat, pelindung, pembimbing dan persahabatan. Sehingga banyak anak yang orangtuanya bercerai melampiaskan emosinya pada perilakunya. Tapi memiliki ayah juga bukan jaminan anak akan patuh.

Saking tingginya tingkat perceraian di Amerika, mulai banyak pertanyaan masih pentingkah peran ayah. Karena lebih banyak yang percaya anak bisa hidup tanpa ayahnya karena ibu telah terbukti menjadi orangtua tunggal (single parent) yang teruji.

Psikolog Ike R. Sugianto, Psi dari Klinik Medikids Greenville, saat dihubungi detikHealth, Minggu (31/1/2010) mengatakan jika anak hanya tinggal bersama ibu maka perilakunya tergantung dari pola asuh sang ibu.

Menurutnya karakter seorang anak tidak bisa ditentukan oleh salah satu faktor saja, karena itu anak yang diasuh oleh orangtua tunggal belum tentu memiliki perilaku yang salah atau menyimpang.

"Sebenanya tidak ada perilaku khas yang membedakan antara anak yang masih memiliki orangtua lengkap atau anak yang hanya memiliki ibu saja. Karena karakter seorang anak tidak bisa dikaitkan dengan satu variabel saja," ujar Ike.

Ike menuturkan hal yang paling mempengaruhi perilaku dari anak adalah bagaimana pola asuh dari ibunya. Jika si ibu terus menekan atau menuntut agar anak bisa melakukan segala hal sehingga tak perlu tergantung pada laki-laki, maka kemungkinan besar anak akan tumbuh menjadi sosok mandiri.

Namun jika ibu terlalu protektif terhadap anaknya, maka ada kemungkinan anak akan tumbuh menjadi sosok yang manja.

"Pola asuh orangtua sangat berperan dalam hal ini. Karena meskipun si anak masih memiliki orangtua yang lengkap tapi si ayah tidak berperan dalam perkembangannya, bisa saja anak memiliki perilaku yang menyimpang," ujar psikolog yang lulus dari UI tahun 1997 ini.

Ike memberikan beberapa tips pola asuh bagi orangtua tunggal, yaitu:

1. Cobalah untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Terlepas dari apakah menjadi orangtua tunggal akibat cerai hidup atau meninggal, tapi syukuri segala kondisi yang ada. Bagaimana ibu bisa menolong anaknya kalau ia tidak bisa menolong dirinya sendiri.

2. Memberikan pola asuh yang seimbang antara faktor disiplin dan kasih sayang, sehingga anak nantinya tidak tumbuh menjadi sosok yang emosional, manja atau terlalu sensitif.

3. Anak tetap harus punya figur atau panutan laki-laki dewasa, seperti dari paman, kakek atau gurunya. Hal ini dibutuhkan agar saat anak tumbuh dewasa nanti, anak menjadi tahu bagaimana perilaku dan peran dari seorang laki-laki.

4. Ibu harus tetap mengizinkan anak untuk berkomunikasi dengan ayahnya, jika single parent diakibatkan oleh perceraian. Jika anak belum bisa menerima semuanya, coba bantu anak dengan memberikan beberapa pengertian dan tunggu kesiapan dari anak tersebut.

Diakui Ike sangat berat bagi ibu yang mengasuh anak sendirian maka itu penting menjaga komunikasi terhadap anak sehingga keduabelah pihak tahu apa yang diinginkan agar bisa menjalani hidup dengan normal.
(ver/ir-detik)

Friday 29 January 2010

Jangan Tunjukkan Muka Masam ke Anak Saat Pulang Kerja

Anak yang melihat orangtuanya pulang bekerja dengan kondisi tertekan akan membuatnya ikut tertekan. Orangtua yang selalu terlihat capek usai pulang kerja akan membuat anak kehilangan minat sekolah.

Tanpa disadari, orangtua yang memaksakan dirinya bekerja terlalu keras di kantor dapat membahayakan sikap anaknya. Ini karena orangtua terkadang suka membawa tekanan dari kantor saat pulang ke rumah.

Sebuah studi menunjukkan ibu dan ayah yang terlalu keras bekerja ada kemungkinan membawa rasa kecewa dan kelelahannya ke rumah. Akibatnya, anak-anak menjadi lebih mudah khawatir, sinis terhadap nilai pelajaran dan ujian bahkan sulit untuk berkonsentrasi dan mudah lelah.

Apalagi jika masalah tersebut sudah menyangkut keuangan. Anak yang mengetahui persoalan ini akan lebih buruk keadaannya.

Studi yang dilakukan oleh Academy of Finland's educational menanyai lebih dari 500 remaja mengenai gejala seperti mudah lelah, perasaan tidak mampu sebagai siswa dan sinisme terhadap nilai sekolah. Orangtua juga ditanya mengenai pekerjaan serta kebiasaannya setelah pulang kerja.

Orangtua yang lelah secara fisik dan emosional lebih cenderung memiliki anak yang bernasib sama dengannya saat di sekolah. Hal ini dapat membuat anak tidak berminat untuk belajar dan sekolah. Hasil penelitian ini telah dilaporkan dalam European Journal of Developmental Psychology.

"Hal ini bisa mempengaruhi pendidikan si anak. Selain itu keuangan keluarga juga menjadi faktor yang penting. Semakin besar tingkat kekhawatiran mengenai keuangan keluarga, maka efeknya juga akan semakin buruk," ujar Prof Katariina Salmela-Aro, seperti dikutip dari Dailymail, Senin (25/1/2010).

Para ahli di Inggris mengungkapkan hal ini disebabkan karena anak-anak menyerap kekhawatiran orangtuanya serta ada kemungkinan si anak kurang mendapatkan perhatian dari orangtua.

"Akibatnya orangtua datang ke rumah dengan keadaan capek dan lelah serta tidak memiliki waktu yang banyak dengan anak-anaknya untuk sekedar berbicara atau mendengar ceritanya. Hal ini juga bisa mempengaruhi kesehatan dan pendidikannya," ujar Prof Cary Cooper, seorang psikolog kesehatan dari Lancaster University.

(ver/ir)

Jangan Tunjukkan Muka Masam ke Anak Saat Pulang Kerja

Anak yang melihat orangtuanya pulang bekerja dengan kondisi tertekan akan membuatnya ikut tertekan. Orangtua yang selalu terlihat capek usai pulang kerja akan membuat anak kehilangan minat sekolah.

Tanpa disadari, orangtua yang memaksakan dirinya bekerja terlalu keras di kantor dapat membahayakan sikap anaknya. Ini karena orangtua terkadang suka membawa tekanan dari kantor saat pulang ke rumah.

Sebuah studi menunjukkan ibu dan ayah yang terlalu keras bekerja ada kemungkinan membawa rasa kecewa dan kelelahannya ke rumah. Akibatnya, anak-anak menjadi lebih mudah khawatir, sinis terhadap nilai pelajaran dan ujian bahkan sulit untuk berkonsentrasi dan mudah lelah.

Apalagi jika masalah tersebut sudah menyangkut keuangan. Anak yang mengetahui persoalan ini akan lebih buruk keadaannya.

Studi yang dilakukan oleh Academy of Finland's educational menanyai lebih dari 500 remaja mengenai gejala seperti mudah lelah, perasaan tidak mampu sebagai siswa dan sinisme terhadap nilai sekolah. Orangtua juga ditanya mengenai pekerjaan serta kebiasaannya setelah pulang kerja.

Orangtua yang lelah secara fisik dan emosional lebih cenderung memiliki anak yang bernasib sama dengannya saat di sekolah. Hal ini dapat membuat anak tidak berminat untuk belajar dan sekolah. Hasil penelitian ini telah dilaporkan dalam European Journal of Developmental Psychology.

"Hal ini bisa mempengaruhi pendidikan si anak. Selain itu keuangan keluarga juga menjadi faktor yang penting. Semakin besar tingkat kekhawatiran mengenai keuangan keluarga, maka efeknya juga akan semakin buruk," ujar Prof Katariina Salmela-Aro, seperti dikutip dari Dailymail, Senin (25/1/2010).

Para ahli di Inggris mengungkapkan hal ini disebabkan karena anak-anak menyerap kekhawatiran orangtuanya serta ada kemungkinan si anak kurang mendapatkan perhatian dari orangtua.

"Akibatnya orangtua datang ke rumah dengan keadaan capek dan lelah serta tidak memiliki waktu yang banyak dengan anak-anaknya untuk sekedar berbicara atau mendengar ceritanya. Hal ini juga bisa mempengaruhi kesehatan dan pendidikannya," ujar Prof Cary Cooper, seorang psikolog kesehatan dari Lancaster University.

(ver/ir)