Pada Februari lalu Dr Marc Gallini dan rekan prakteknya Dr Frank Ciampi memberikan penemuan meteroid yang jatuh di rumahnya ke Institut Smithsonian AS dengan tanda jasa US$5 ribu (Rp48 juta). Dokter itu khawatir kolektor yang ingin memasarkan meteorit itu berniat mendapatkan keuntungan besar karena meteorid bisa dijual dengan harga sangat mahal.
Lalu apakah meteorid juga mahal dan siapa pemiliknya jika jatuh di Indonesia? Peneliti Pusat Sains Atmosfir dan Iklim LAPAN Thomas Djamaludin mengatakan meteor yang jatuh di Duren Sawit tidak ada pemiliknya. Hal itu karena di Indonesia tidak ada pengaturannya.
Jika orang menemukan meteorit maka seringkali disimpan oleh warga, tetapi ada juga yang menyerahkannya ke lembaga pemerintah misalnya museum. “Di luar negeri, siapa yang menemukan, itulah pemiliknya. Amerika banyak pemburu meteorit yang sengaja mencari dan menjadi mata pencaharian dengan menjualnya ke museum,” ujarnya saat dihubungi Minggu (2/5).
Ia menambahkan, terkait keberadaan meteor belum ada pengaturan secara global. Sama halnya ketika orang menemukan bebatuan dari pantai atau gunung. Selama hal itu bersifat umum, maka menjadi bebas dimiliki, karena agak beda dengan fosil yang sudah ada regulasinya.
“Meteor tidak diatur meskipun sama-sama memiliki nilai ilmiah, tetapi setiap orang bisa memiliki karena bukan hal yang spefisik. Namun ada baiknya benda tersebut disimpan di museum untuk pembelajaran masyarakat tanpa ada pengaturannya, warga berhak untuk menemukan dan menentukan ke mana harus disimpan,” imbuh Thomas.
Apakah Anda tertarik untuk menjadi pemburu meteor dan mendapat penghasilan dari benda angkasa itu? Apalagi hujan meteor terjadi setiap tahun.
Namun Peneliti dari Departemen Meteorologi Institut Teknologi Bandung Dr Armi Susandi mengingatkan meteor yang jatuh bisa jadi milik negara. “Meteor yang jatuh ke bumi dari angkasa luar menjadi persoalan negara, artinya menjadi milik pemerintah. Hal tersebut diatur dalam undanguUndang bahwa segala sesuatu yang dari luar angkasa menjadi milik negara,” ujarnya.
Ia mengatakan sampai batas tertentu di atasnya lagi ada perjanjian internasional yang terkait dengan hal tersebut. Namun Armi menambahkan memang belum ada aturan mendetil menyangkut hak milik meteor. “Sulit membuat peraturan yang mengatur peristiwa yang terjadi hanya setahun sekali,” ujarnya .
Kepala Puslabfor Mabes Polri Amri Kamil mengatakan sampel yang diambil dari Duren Sawit hanya batu saja. “Tidak ada kandungan fosil,” ujar Amri.
Ia menambahkan kesimpulan Puslabfor disinkronkan dengan LAPAN. Sementara dia mengatakan batu angkasa itu tidak jelas milik siapa. “Apalagi jika harus menyebutkan angka harga sebuah meteor, tidak ada angka,” ujar Amri.
Sementara Thomas Djamaludin mengatakan dari indikasi awal yang dikaji di lapangan terkait kerusakan dan arah jatuhnya, bisa disimpulkan peritiwa di Duren Sawit disebabkan oleh meteorit. “Linear dengan kesimpulan awal mengarah kepada kesimpulan akhir bahwa penyebabnya memang meteorit,” katanya.
Ia menjelaskan meteorit di Duren Sawit hanyalah meteorid sporadis bukan Eta Aquarids. Sporadis artinya sewaktu-waktu bisa jatuh ke bumi, sedangkan Eta Aquarids yang terlihat di bulan Mei setiap tahun memiliki ukuran seperti pasir halus, hanya beberapa detik habis, tidak bisa mencapai ke bumi.
“Eta Aquarids mirip seperti hujan meteor Lyrids beberapa waktu lalu. Cuma titik pancarnya berasal dari rasi Aquarius sekitar bintang Eta Aquaruis, kira-kira kita bisa melihatnya dalam kondisi malam atau siang, kepastiannya masih belum dilihat lebih lanjut siang atau malam untuk lebih jelas dilihat,” ujar Thomas. [mdr-inilah.com]