“Kami telah memperingatkan pejabat Haiti bahwa negara mereka seolah akan panen bencana, terutama gempa besar,” ujar Dosen Geofisika di Purdue University, Eric Calais, Jumat (15/1).
Temuan itu mereka umumkan dalam sebuah konferensi geologi pada Maret 2008 lalu. Seolah tak cukup, ia kembali menyampaikannya dua bulan kemudian dengan data yang lebih lengkap.
Ketika itu, Calais memprediksikan sebuah gempa berkekuatan 7,2 pada Skala Richter. Hal tersebut berdasarkan lipatan lempeng yang dikatakannya sedang mengumpulkan kekuatan.
Peringatan itu bukannya dihiraukan para pejabat dan otoritas Haiti. Mereka mendengarkan dengan seksama. Hanya saja, tak memiliki cukup waktu untuk membuat sejumlah persiapan guna mencegah kerusakan besar. Calais sendiri menyadari hal ini karena fakta bahwa Haiti memang negara termiskin di hemisfer Amerika.
“Dua tahun merupakan waktu yang terlampau singkat bagi Haiti untuk melakukan sesuatu. Faktanya, negara berkembang manapun akan merasa kekurangan waktu,” lanjutnya.
Selain itu, prediksi Calais sendiri juga memiliki banyak kekurangan. Pasalnya, ia tak memberikan tenggat waktu yang pasti atau sebuah timeframe agar otoritas lokal segera mempersiapkan langkah preventif. “Mereka bisa mencegah gedung kolaps yang pada akhirnya menimbulkan banyak korban,” kata ilmuwan Fakultas Geografi University of Texas, Paul Mann.
Gempa yang menyerang Haiti pada Selasa (12/1) lalu, menurut perkiraan Palang Merah Internasional, telah menelan korban 45-50 ribu orang. Belum ada laporan resmi mengenai jumlah korban tewas yang telah ditemukan karena komunikasi belum sepenuhnya pulih. Selain itu, besarnya jumlah korban bukan hanya karena Haiti yang belum siap.
“Negara ini sedang dalam proses pemulihan dari bencana terakhir yang menimpa mereka 2008 lalu,” imbuh Mann. Tahun itu, empat badai tropis yang cukup merusak dan disertai angin puting beliung melanda Haiti. Pemerintah memperkirakan sekitar 800 orang tewas akibat kejadian itu.
Belum lagi masalah kemiskinan, pemerintahan yang tidak stabil, standar bangunan yang memprihatinkan dan rentan terhadap bencana seperti gempa. Hal inilah yang membuat dunia langsung memusatkan perhatian ke Haiti. “Pemerintah Haiti memiliki masalah lain yang harus mereka pikirkan ketimbang memperhatikan prediksi yang tidak lengkap,” kata Mann.
Lalu seperti apa penelitian Calais yang dilakukan bersama Mann itu? Penelitian mereka lakukan sepanjang lempeng Enriquillo di wilayah Karibia. Meski melakukan riset dalam kelompok terpisah, hasil studi keduanya saling berkaitan. Pasalnya, mereka meneliti lempeng yang sama dan berujung pada hasil serupa.
Calais mendeteksi tekanan yang meningkat pada lempeng itu, menggunakan pengukuran global positioning system (GPS). Retakan bumi yang terletak dekat Haiti itu sudah menunjukkan tekanan yang mengkhawatirkan. Jika bertumbukan, akan terjadi gempa bumi besar yang mempengaruhi daerah sekitarnya.
Sementara Mann, menilik kembali sejarah gempa di wilayah itu. Dalam catatannya disebutkan gempa terakhir terjadi pada 1770. Dari hal inilah ia memprediksikan gempa akan terjadi suatu masa di Haiti, dengan magnitud sebesar 7,2 SR. Kedua ilmuwan ini menyayangkan sikap pemerintah Haiti yang hanya mendengarkan, tanpa mengambil tindakan penting.
“Bahkan, negara ini tak memiliki stasiun pemantau pergerakan seismik. Padahal negara tetangga mereka, Republik Dominika, sudah memasangnya,” kata Calais. Hingga kini, tim penyelamat masih kewalahan mengatasi dampak bencana, meski dunia internasional termasuk Indonesia sudah banyak mengirimkan bantuan. [mdr-inilah]